MONOKROM ( Circle&Man Eps. 1 )

Eps. 1 Circle&Man

Loha alias halo…

Baru banget gue cek sih belum ada sarang laba-laba yaa, jadi gue rasa masih aman untuk pembelaan diri karena gue udah lama gak ada update di blog.

Kilas balik, 2020 mungkin jadi tahun yang gak pernah terlupakan untuk manusia seluruh dunia. Rasanya lagi enak-enaknya dengan hidup, realita mengajak kita untuk bersimpuh kembali mengulas relasi manusia dengan sekitarnya. Tidak ada satu hari pun yang mampu ditebak. Gue harap kita masih mampu bekerja sama dengan tahun 2021. Walaupun, baru 23 hari di pergantian tahun sudah banyak sekali kata duka tersemat untuk negeri ini. Turut berduka sedalam-dalamnya atas jatuhnya pesawat SJ-182, longsor di Sumedang, gempa di Majene Sulawesi Barat, banjir di Kalimantan Selatan, Cirebon, Banyuasin, Halmahera Utara, dan Manado, erupsi Gunung Semeru dan Merapi, serta kepergian ulama besar di negeri ini.

 

Sebenarnya gue gak ada ide sama sekali dan gak tau sampai kapan otak gue dapat ilham lagi buat ngetik. Tapi entah kenapa gue jadi kepikiran tentang satu hal di kehidupan sehari-hari kita. Semakin bertambahnya usia terkadang banyak hal-hal yang tadinya gak lo pikirin terus tiba-tiba terlintas untuk memikirkan hal-hal tersebut. Otak gue terus dipertanyakan dengan esensi gue sebagai manusia di bumi. Apa kebahagian gue sebagai manusia?

 

Salah satu hal contoh gue ambil tentang Nyokap. Waktu gue sekolah, teman-teman gue iri sama gue karena nyokap gue sebagai ibu rumah tangga sedangkan nyokap teman gue itu seorang wanita karier. Lantas gue sebagai anaknya selalu ngeluh tentang hal itu.

Kenapa? Karena gue paling males kalau udah ngedengerin omelan Nyokap. Tiap gue pulang sekolah dan langsung nonton Tv atau main hape, Nyokap dengan seenaknya bilang “Nonton tv terus, bukannya belajar. Kerjain tugasnya dan blablablaabla lainnya.” Yaaa tradisional ibu-ibu pada umumnya. Belum lagi kalau misalnya gue di banding-bandingin dengan orang lain. Biasanya, saat sedang kumpul keluarga, perbandingannya semakin jelas. Ada si bego, ada si malas, ada tukang main game, ada si kutu buku, ada si pinter berkacamata bahkan ada si cantik dan jelek.

Ada teman gue yang pintarnya minta ampun banget, gue selalu jadi bahan perbandingannya. Kalau gue sih bisa bilang analogi-nya itu sama kaya iklan pelangsing before dan after di Instagram. Ya, thats it, gue yang before tentunya, jauh banget kan  gila. Dengan segala usaha gue yang gue rasa sudah max, kadang gue selalu merasa sangat frustasi dengan itu semua.

 

Tapi terkadang gue ngerasa, apa yang sebenarnya gue liat belum tentu artinnya gue tahu tentang semua itu. Tentang hal yang gue lihat dalam bentuk sebenarnya? Untuk apa kita hidup di dunia sebesar ini.

Apa hanya untuk bersaing satu sama lain?

Atau hanya untuk melihat siapa yang ada di atas dan siapa yang ada di bawah?

 

As human, kita jarang melihat lebih dalam tentang sesuatu., ya gue juga termasuk ke dalam golongan seperti itu. Teman gue yang pinter itu, mungkin gue hanya kesal karena gue selalu dibandingin dengannya atau guru hanya terus melihat anak-anak pintar sedangkan yang biasa-biasa saja seperti tak berwujud.Gue kesel karena hal-hal semacam itu, tanpa gue tahu bagaimana perjuangannya dia belajar yang bangun pagi-pagi buta hanya untuk belajar, lalu pulang sekolah masih di perpus dengan meminjam begitu banyak buku untuk refrensi mengerjakan berbagai macam soal yang tingkat kesulitannya berbeda-beda.

 

Gue jadi mikir, anak-anak yang iri sama gue karena Nyokap ada di rumah adalah anak-anak yang Nyokapnya kerja dan pulang kerumah di saat mereka sudah tertidur pulas atau anak-anak yang Nyokapnya sudah gak ada lagi di bumi ini. Sedangkan gue iri dengan kebebasan yang gak gue dapat karena di rumah sebagai robot dengan remote control Nyokap sendiri. Kalau dipikir-pikir apa harus hidup seperti ini? Selalu jadi kubu hitam dan putihnya dunia. Apa kalo gue jadi pintar itu bisa menjamin kebahagiaan untuk gue. Lalu di mana letak syukur gue sebagai manusia.

 

Nyokap ada di rumah atau gak ada aja bisa jadi permasalahan buat diri gue sendiri. Akhirnya gue jadi kewalahan buat bersyukur. Lebih susah liat ke bawah dari pada ngeliat ke atas, karena patokannya selalu harus yang lebih dari gue. Seakan-akan hidup harus sesuai kemauan gue, padahal selalu ada keadilan Tuhan yang berkuasa tentang hidup kita semua. Lebih harus nekanin diri sendiri buat bersyukur dengan apa yang kita miliki. Sebelum semua nya hilang dan kita menyesal.

 

Semakin dewasa gue semakin ngeri akan tentang hidup gue. Seakan diri gueitu begitu amat miskin banget tentang bersyukur. Hampir setiap hari ada saja keluhan yang keluar dari mulut gue. Walaupun gue tau mengeluh akan semua yang terjadi juga termasuk bagian manusia sih. Kita punya hati buat ngerasain sedih. Tapi bahayanya kurang bersyukur juga dapat menimbulkan penyakit baru seperti, iri, dengki, dan penyakit hati lainnya, karena pada intinya berusaha bersyukur itu bisa jadi obat paling manjur untuk diri gue sendiri.

 

Sekarang, gue jadi paham sih semenakutkan apa hidup gue sendiri ketika gue jarang banget banget buat bersyukur. Mungkin kalau gue ga mencoba untuk bersyukur, gue bakal gampang banget gila dengan semua ini. Dengan ke-eksistensian gue sebagai manusia penuh kekurangan. Dan juga dunia ini masih banyak yang menilai orang lain dengan sebuah perbandingan aneh.

 

Sekarang gue cukup mengerti tentang ini, Pattern yang selalu gue pakai dalam hidup adalah, hidup itu bisa jadi. Bisa jadi besok lo senang, bisa jadi besok lo bahagia tapi bisa jadi  besok lo sedih, besok lo kehilangan, bahkan besok lo ga ada di bumi. Selalu pada batasnya, agar tidak kecewa juga menjadi rumus hidup gue tentu dengan selalu bersyukur.

 

Sama-sama proses yuk. Kalau lo sendiri gimana caranya biar bisa terus bersyukur untuk kehidupan yang selalu gak adil menurut lo?

 

Pesan dari semesta.

“Aku adalah bagian darimu, cintai dirimu dahulu kemudian sayangi aku.”

Instagram : @majomino.rity